Anak
berkebutuhan khusus apakah autisme, ADHD, ADD atau PDD-NOS, bila sudah
menjalani tata-laksana, secara holistik termasuk intervensi medis, dan sudah
menunjukkan peningkatan dari sisi bahasa/komunikasi dan perilaku, bisa dicoba
untuk masuk ke sekolah reguler (bukan SLB). Keberadaan anak di sekolah reguler,
bila usia sudah mencukupi akan sangat membantu peningkatan kemampuan bahasa, kepatuhan
dan kemampuan akademik, karena anak akan berhadapan dengan instruksi yang
berbeda bila dibandingkan yang didapatkan di tempat terapi, lingkungan yang
berbeda, orang yang berbeda dll. Selain itu, anak juga akan berada pada suatu
tempat yang terdiri dari banyak orang, dimana suara dan gerakan yang
berlebihan, bisa membuat konsentrasi anak beralih dan mudah muncul emosi
negatif. Penolakan untuk masuk kelas atau sekolah baru, sangat mungkin terjadi,
namun kita tidak boleh menyerah dan tetap “mengkondisikan” anak, namun bila hal
ini dibiarkan (perilaku menolak), maka tujuan kita untuk meningkatkan kemampuan
dan kepatuhan anak, justru akan membuat anak trauma dan tidak mau masuk
sekolah.
Keberadaan
anak di sekolah umum, tentunya membutuhkan kerja-sama yang baik dengan pihak
sekolah sebagai penyelenggara proses pemberian materi akademik. Adanya anak
berkebutuhan khusus di sekolah hendaknya jangan menjadikan pihak sekolah merasa
terganggu, temannya merasa tidak nyaman atau timbul suasana yang tidak “nyaman”
dengan orang tua muruid yang lainnya. Sebagai orang tua ABK kita juga hendaknya
tidak menuntut terlalu “jauh” dan “tinggi” ke pihak sekolah agar ‘sangat
mengerti” keberadaan ABK. Sebaiknya kita memberikan gambaran ke pihak sekolah,
bahwa keberadaan anak kita untuk melatih sosialisai, meningkatkan kepatuhan dan
bukan hanya mengejar kemampuan akademik. Kemampuan akademik bisa diadikan
sebagai sasaran, bila kepatuhan dan bahasa sudah terbentuk.
Kerja
sama dengan guru kelas, sebagai pembimbing sehari-hari, sangat disarankan,
meskipun kita tidak bisa menuntut mereka berlaku lebih kepada ABK. Justru kalau
mereka memberikan perhatian yang berlebihan, hal ini menyimpang dari misi kita
menjadikan anak lebih mandiri. Guru kelas hendaknya berperilaku seperti biasa
kepada murid yang lain, seperti meminta anak untuk maju ke depan mengerjakan
soal, meminta anak untuk memberikan atau mengambil benda. Tentunya dalam
melakukan suatu aktifitas, banyak yang masih harus dibantu, paling tidak agar
tidak terlalu lama dan tidak menganggu aktifitas kelas.
Untuk
itu diperlukan pembimbing khusus (bukan guru kelas), yang mendampingi anak
dalam merespon aktifitas dan mengerjakan materi. Guru pendamping inilah yang
mengawasi, membantu dan melatih anak. Guru pembimbing bukan sebagai PENGASUH,
yang menyediakan keperluan atau melayani anak, tapi sebagai jembatan antara
instruksi guru dan respon dari anak. Fungsi jembatan hanya “menghubungkan”, yang
melakukan anak sendiri meskipun dengan dibantu. Fungsi jembatan yang lain
adalah antara anak dengan teman sebaya, dimana aspek spontanitas, bermain dan
mengikuti aturan, banyak dterapkan di sini. Sedangkan untuk akademik, pada
tahap awal masuk tidak menjadi sasaran, yang menjadi sasaran adalah aspek
kemampuan siap diri, yang meliputi, merespon bila namanya dipanggil, duduk dengan
durasi waktu yang lama, serta tidak mengeluarkan stimulasi (suara dan gerakan),
yang akan menganggu suasana kelas.
Guru
Pendamping Khusus (GPK), sebaiknya seoarang terapist yang sudah memiliki bekal
dalam menangani anak berkebutuhan khusus di tempat terapi atau di rumah.
Sehingga bisa dan harus mampu bersikap tegas bila anak tidak patuh dan
menunjukkan sikap menentang, namun juga harus bisa membuat anak merasa nyaman,
saat berada di damping GPK. Parameter “keberhasilan” GPK, bukan nilai anak yang
tinggi dalam pelajaran, melainkan kepatuhan dan penolakan anak yang semakin
turun atau kecil, terhadap semua aktifitas yang ada di sekolah. Sebaiknya anak
tidak hanya mengikuti kegiatan intrakurikuler, namun juga kegiatan ekstra yang
seperti kesenian atau olah-raga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar