Selasa, 02 Mei 2017

GANGGUAN BICARA DAN GANGGUAN MOTORIK PADA ANAK



GANGGUAN BICARA DAN GANGGUAN MOTORIK PADA ANAK

Manusia berinteraksi satu dengan yang lain melalui komunikasi dalam bentuk bahasa. Komunikasi tersebut terjadi baik secara verbal maupun non verbal yaitu dengan tulisan, bacaan dan tanda atau simbol. Berbahasa itu sendiri merupakan proses kompleks yang tidak terjadi begitu saja. Manusia berkomunikasi lewat bahasa memerlukan proses yang berkembang dalam tahap-tahap usianya. Bagaimana manusia bisa menggunakan bahasa sebagai cara berkomunikasi selalu menjadi pertanyaan yang menarik untuk dibahas sehingga memunculkan banyak teori tentang pemerolehan bahasa.
Gangguan bicara dan bahasa dialami oleh 8% anak usia pra sekolah. Hampir sebanyak 20% dari anak berumur 2 tahun mempunyai gangguan keterlambatan bicara dan gangguan berbahasa. Keterlambatan bicara paling sering terjadi pada usia 3-16 tahun.
Pada umur 5 tahun, 19% dari anak-anak diidentifikasi memiliki gangguan bicara dan bahasa (6,4% kelemahan berbicara, 4,6% kelemahan bicara danbahasa, dan 6% kelemahan bahasa).
Pada pemeriksaan hubungan antara perkembangan kontrol motorik dan bahasa dan gangguannya, terdapat perbedaan antara besarnya jumlah yang diketahui tentang motor kontrol anggota tubuh dan sedikit yang diketahui tentang motor kontrol oral. Sebagai contoh, telah lama diketahui bahwa fase pertama dari perkembangan bahasa terjadi sejajar dengan fase pertam perkembangan gestural, dan anak-anak yang fase gesturalnya lebih awal dari rata-rata biasanya juga mengucapkan kata-kata pertamanya lebih awal dari rata-rata(Bates et al., 1979). Data terakhir memperlihatkan bahwa anak-anak yang terlambat memulai baik komunikasi gestural dan percakapan bahasa secara spontan, lebih mungkin untuk mengalami keterlambatan daripada anak-anak yang memulai komunikasi gestural pada umur yang sesuai tetapi juga mengalami keterlambatan bicara (Thal et al., 1997).
Ada juga suatu hubungan yang kuat antara kesulitan kontrol motorik anggota tubuh dan kelemahan bahasa(Hill, 2001), yang mana terlihat genetik ikut berperan (Bishop, 2002). Ketidakseimbangan dalam penelitian ini masih ada, meskipun kenyataannya mayoritas pengguna bahasa yang bicara. Sekarang terjadi perubahan dalam perkembangan ketrampilan motorik oral.

BERBAGAI GANGGUAN MOTORIK. VESTIBULARIS  DAN SENSORIS YANG SERING MENYERTAI ANAK DENGAN KETERLAMBATAN BICARA
  1. GANGGUAN KESEIMBANGAN KOORDINASI DAN MOTORIK : Terlambat bolak-balik, duduk, merangkak dan berjalan. Jalan terburu-buru, mudah terjatuh/ menabrak, duduk leter ”W”. Terlambat melompat dan terlambat mengayuh sepeda.
  2. GANGGUAN SENSORIS : sensitif terhadap suara (frekuensi tinggi) , cahaya (silau), raba (jalan jinjit, flat foot, mudah geli, mudah jijik)
  3. GANGGUAN ORAL MOTOR : TERLAMBAT BICARA, bicara terburu-buru, cadel, gagap. GANGGUAN MENELAN DAN MENGUNYAH, tidak bisa makan makanan berserat (daging sapi, sayur, nasi) Disertai keterlambatan pertumbuhan gigi.
  4. GERAKAN MOTORIK BERLEBIHAN
    Mata bayi sering melihat ke atas. Tangan dan kaki bergerak terus tidak bisa dibedong/diselimuti. Senang posisi berdiri bila digendong, sering minta turun atau sering menggerakkan kepala ke belakang, membentur benturkan kepala. MUDAH JATUH DARI TEMPAT TIDUR. Sering bergulung-gulung di kasur, menjatuhkan badan di kasur (“smackdown”}. ”Tomboy” pada anak perempuan : main bola, memanjat dll.
Anak dengan jenis kelamin laki-laki  lebih rentan terhadap keterlambatan perkembangan bahasa dibanding anak perempuan. Secara teori hormon estrogen sebagai hormon sexual pada anak perempuan sangat berperan selama perkembangan otak, dimana hormon estrogen ini mempercepat proses myelinisasi serabut syaraf otak.
Data Gurian and Stevens (2005) dalam Vesna Nikolic (2008) menyatakan bahwa 80% masalah kedisiplinan pada anak dilakukan oleh anak laki-laki, 70% anak yang terdiagnosis gangguan belajar adalah anak laki-laki dan 80% anak laki-laki dari tahun ke tahun, berada separuh di belakang anak perempuan untuk ketrampilan matematika dan membacanya.
Guardian dan Stevens menjelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan antara otak anak laki-laki dengan anak perempuan :
  1. Pada anak laki-laki lebih banyak dopamin di aliran darahnya, sehingga meningkatkan risiko perilaku impulsif, dampaknya anak laki-laki kurang mampu belajar dengan duduk tenang, mereka memerlukan aktivitas fisik untuk mengembangkan otak mereka, dan lebih cendrung membuat keputusan yang impulsif.
  2. Amigdala (pusat marah dan agresi) pada anak laki-laki secara signifikan memiliki volume lebih tinggi, akibatnya anak laki-laki cendrung bereaksi dari pada memberi respon, sehingga dikatakan lebih berisiko memiliki masalah-masalah kedisiplinan.
  3. Pada anak laki-laki juga ter-setting untuk recharge diantara tugas-tugasnya, anak perempuan lebih mampu mempertahankan konsentrasi, meskipun dalam keadaan istirahat otak mereka masih tetap aktif. Corpus callosum (serabut penghubung antara hemispaer kiri dan kanan) juga memiliki ukuran yang berbeda dibanding anak perempuan, sehingga anak perempuan dapat menjalani berbagai tugas-tugasnya dengan lebih baik, sementara anak laki-laki lebih fokus pada suatu aktivitas pada saat itu saja.
  4. Anak perempuan memiliki neuronal connections yang lebih kuat di lobus temporalnya sehingga mereka dapat berperan sebagai pendengar yang lebih baik sementara anak laki-laki lebih sedikit menangkap stimuli yang berkenaan dengan suara di sekitar mereka, khususnya saat di sampaikan melalui kata-kata.

Selasa, 10 Januari 2017

DISLEKSIA PADA ANAK



DYSLEKSIA
Apa itu disleksia?
Disleksia adalah semacam disabilitas yang lazim dialami anak-anak. Anak-anak dengan disleksia umumnya mengalami kesulitan saat mereka belajar membaca, menulis atau mengeja kata-kata.
Meskipun anak-anak penderita disleksia memiliki tingkat intelejensi di atas rata-rata, mereka sulit memahami pelajaran yang disampaikan secara visual maupun melalui suara.
Otak anak pengidap disleksia tidak mampu menerjemahkan gambar atau suara yang dilihat oleh mata atau yang didengar oleh telinga. Mata penderita disleksia bisa melihat kata-kata yang tertulis dalam buku, namun otak tidak mampu menerjemahkan apa yang mereka lihat.
Disleksia bukanlah bagian dari penyakit mental. Oleh karena itu kepikunan, keterbelakangan mental dan kerusakan otak tidak dapat digolongkan sebagai gejala disleksia, Demikian juga gangguan penglihatan dan pendengaran.

Apa penyebabnya?

Ada dua jenis disleksia, yaitu disleksia primer dan disleksia berkembang. Disleksia primer terjadi akibat tidak berfungsinya cerebrum (bagian otak yang mengatur aktifitas berpikir dan bergerak) yang terjadi akibat faktor genetik dan keturunan.
Sedangkan disleksia berkembang dialami ketika anak masih berada dalam kandungan. Pengidap disleksia berkembang dapat membaca namun tidak lancar dan mengalami kesulitan dalam mengeja kata-kata.
Kabar baiknya, kemampuan membaca mereka akan membaik ketika tumbuh dewasa. Pengidap disleksia berkembang mungkin tidak akan pernah menjadi seorang pembaca atau pengeja yang baik, namun otak mereka dapat melakukannya meski tidak lancar.
Baik pengidap disleksia primer maupun berkembang dapat menangkap gambar maupun suara, tapi dengan kecepatan merespon yang lebih lambat daripada anak normal.
Gangguan disleksia ini bersifat genetik (keturunan), karena ditemukan pada 23% – 65% anak dari orangtua yang disleksia, juga pada 40% dari saudara kandung. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak mengalami disleksia daripada perempuan dengan perbandingan 3:2. Secara internasional, diperkirakan 3% – 10% anak di dunia mengalami disleksia. Pada negara-negara berbahasa Inggris, persentase perkiraan ini meningkat hingga 17,5%. Apa sebab? Karena bahasa Inggris adalah bahasa yang sangat inkonsisten. Hubungan antara kata dan suara dalam bahasa Inggris lebih sulit diperkirakan dibandingkan dengan bahasa Indonesia, misalnya. Huruf dan kata yang dituliskan dalam bahasa Inggris berbeda pelafalannya, sehingga semakin menyulitkan para pengidap disleksia. Gangguan ini pun tidak terbatas pada bahasa yang bersifat alfabetis, tapi juga terjadi pada individu yang bahasa sehari-harinya bersifat logografis seperti bahasa Cina. Karakter dalam bahasa Cina memiliki elemen fonologis yang dapat menimbulkan masalah pada membaca dan menulis.
Di dunia akademik, anak-anak yang mengalami disleksia kerap dianggap malas belajar, kurang konsentrasi, sehingga label “anak bodoh”, “anak malas”, “tidak fokus”, kerap dilekatkan pada mereka. Ini jelas berpengaruh pada kondisi psikologisnya, yang ujung-ujungnya dapat memengaruhi tingkat kepercayaan diri anak. Anak menjadi minder, tak mau sekolah, atau menutup diri dari pergaulan karena sering kali diejek atau di-bully karena kekurangannya yang justru tidak bisa ia pahami. Bila guru dan orangtua tidak aware dengan keadaan ini dan tidak segera membawanya ke psikolog atau ahli-ahli lain yang berkompeten dengan masalah ini (seperti, dokter anak), dikhawatirkan anak selamanya akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang percaya diri dan bukan tidak mungkin dapat menimbulkan gangguan psikologis lain seperti, kecemasan sampai depresi. Tentu hal ini tidak diinginkan setiap orangtua, bukan?
Tanda-tandanya
Seorang anak yang kemungkinan mengidap disfungsi otak ini akan berulang kali terbalik menuliskan angka atau huruf. Karena anak normal pun biasa melakukan kesalahan semacam ini, maka gejala ini mungkin akan dianggap sepele.
Akhirnya, orang tua baru merasa was was ketika anak tetap melakukan kesalahan yang sama pada saat usianya telah lebih dari delapan tahun.
Sedangkan gejala lainnya adalah :
  1. Tidak mampu mengikuti urutan atau pola
  2. Tak mampu mengingat apa yang pernah didengar dan dilihat – termasuk hal-hal yang disukainya, seperti film atau cerita.
  3. Mengerjakan PR dengan tidak rapi
  4. Enggan mengerjakan tugas sekolah
  5. Mengalami kesulitan saat menyalin dari buku atau papan tulis
6.    Disleksia adalah satu dari 3 gangguan belajar yang spesifik (specific learning disorder) yang termasuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder V (DSM V). Ada beberapa kriteria menurut DSM V tentang 3 gangguan belajar spesifik (disleksia, disgrafia, diskalkulia) ini, yang muncul minimal selama 6 bulan.
7.    Ketidakakuratan atau lambat membaca (membaca satu kata dengan lambat dan salah, sering kali menebak kata, sulit menyuarakan kata).
8.    Kesulitan dalam memahami apa yang dibaca (mampu membaca namun tidak memahami kesinambungan antar kata dan arti).
9.    Kesulitan dalam mengeja (menambah, mengurangi huruf, mengganti huruf vokal dan konsonan)