Selasa, 20 Maret 2018

PANDANGAN ORANG TUA TERHADAP TATA-LAKSANA PERILAKU


PANDANGAN ORANG TUA TERHADAP TATA-LAKSANA PERILAKU

 

 

Setelah anak mendapatkan diagnosis yang valid, baik dari psikiater anak ataupun pediatric, konsultan tumbuh kembang, selanjutnya adalah menentukan tata laksana atau terapi yang akan diberikan kepada anaknya. Salah satu/jenis tata laksana yang ada sekarang ini disebut dengan tata laksana perilaku, yang menekankan pada variabel atau penyebab terjadinya suatu kejadian. Misalkan anak tiba-tiba tantrum (mengamuk) tanpa sebab dan tiba-tiba, kita sebagai terapist atau orang tua, sebaiknya sudah bisa memperkirakan, apa yang menjadi”penyebab” anak berperilaku demikian. Hal inilah yang disebut dengan antecedents (prakejadian). Kejadian tantrum atau marah disebut sebagai suatu (behaviour-perilaku), yang akan membawa konsekuensi. Bila behaviour anak marah atau emosi negatif, maka konsekuensinya tentu akan berbeda bila anak duduk dengan tenang.

Tata laksana perilaku adalah suatu model atau cara mempertahankan perilku yang baik (misalkan anak duduk tenang), dengan memberikan konsekuensi yang menyenangkan seperti diberikan hadiah, pujian dll. namun bila mncul emosi negatif dari anak, seperti marah atau menangis, maka yang muncul dari kita adalah konsekuensi negatif.

Ketika menjalankan tata-laksana perilaku, pada tahap awal pasti akan muncul pertentangan dari orang tua (ayah dan ibu), yang belum sependapat atau sepaham dalam melaksanakannya. Karena tata-laksana ini berbeda dengan pola pengasuhan atau pembelajaran pada umumnya. Saat berhadapan dengan anak dalam memberikan instruksi, hendaknya harus “hemat kata”, “hemat gerakan”, kata yang diucapkan harus jelas dan tegas (bukan membentak). Bila anak dapat melakasanakan suatu instruksi, maka harus segera diberikan imbalan atau hadiah, bisa berupa makanan, pujian dll.

Beberapa hal yang mungkin menjadi penghambat proses tata-laksana adalah

1.      Ketidaksepahaman antara ayah dan ibu, terhadap kontinuitas program. Karena pada tahap awal pembelajaran, hampir dipastikan muncul, penolakan atau emosi negatif. seperti menangis, marah, menjerit, tidak mau duduk, keluar dari kursi (tidak mau duduk). untuk anak yang masih berusaia kurang lebih 2-3 tahun, “dikhawatirkan”, akan muncul “trauma”. Meskipun biasanya setelah beberapa kali pertemuan, biasanya anak cukup tenang dan mampu mengikuti instruksi dengan cukup baik.

2.      Untuk konsistensi sikap atau perilaku, bila anak sedang marah atau menangis, biasanya ada anggota keluarga yang lain yang berusaha menenangkan anak dengan memberikan apa yang disukainya. Sehingga anak akan berusaha mencari orang yang akan memberikan sesuatu yang disukainya, sebagai “pelarian”.  

3.      Memang belum ada penelitian yang valid, namun orang tua yang masih tinggal dengan mertua atau selain keluarga inti, maka perbaikan anak perilaku, agak lambat. Kesulitan untuk memberikan aturan tunggal, biasanya membuat anak justru menjadi labil emsoinya.

4.      Masalah pembiayaan, menjadi kendala yang muncul bagi anak yang perlu mendapatkan tata-laksana secara holistik (menyeluruh). Karena ideal lamanya terapi bagi terapi perilaku adalah 8 jam sehari.

5.      Bagi anak berkebutuhan khusus yang sudah verbal, biasanya pola bahasa dan bicara anak, tampak kaku dan belum memiliki intonasi. Sehingga untuk menyanyikan sebuah lagu belum terdengar dinamikanya. Dalam berbicara biasanya masih bersifat satu arah, dalam menjawab masih cenderung monoton  dan belum mau bertanya atau berkata secara spontan.

 

Beberapa kendala diatas, memang sangat mungkin muncul, karena anak biasanya kurang mau untuk melaksanakan instruksi yang diberikan secara mandiri. Bila diberikan bantuan biasanya, anak masih sering mengharapkannya. Sehingga bila diminta menyelesaikan, akan timbul emosi negatif. Disinilah mulai diberlakukan terapi perilaku, dimana anak harus menuruti instruksi yang diberikan, namun bila sudah mampu melaksnakan, akan diberikan rewards atau hadiah. Bila menolak akan mendapatkan rewards negatif.

Setelah anak mampu mengerjakan dan patuh dengan satu orang, bisa dilanjutkan dengan membiasakan anak menerima perintah dari orang lain (selain terapist). hal ini bertujuan agar anak tidak hanya patuh dan mau melaksakan instruksi dari orang tertentu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar