DYSLEKSIA
Apa itu disleksia?
Disleksia adalah
semacam disabilitas yang lazim dialami anak-anak. Anak-anak dengan disleksia
umumnya mengalami kesulitan saat mereka belajar membaca, menulis atau mengeja
kata-kata.
Meskipun anak-anak
penderita disleksia memiliki tingkat intelejensi di atas rata-rata, mereka
sulit memahami pelajaran yang disampaikan secara visual maupun melalui suara.
Otak anak pengidap
disleksia tidak mampu menerjemahkan gambar atau suara yang dilihat oleh mata
atau yang didengar oleh telinga. Mata penderita disleksia bisa melihat kata-kata
yang tertulis dalam buku, namun otak tidak mampu menerjemahkan apa yang mereka
lihat.
Disleksia bukanlah
bagian dari penyakit mental. Oleh karena itu kepikunan, keterbelakangan mental
dan kerusakan otak tidak dapat digolongkan sebagai gejala disleksia, Demikian
juga gangguan penglihatan dan pendengaran.
Apa penyebabnya?
Ada dua jenis disleksia, yaitu disleksia
primer dan disleksia berkembang. Disleksia primer terjadi akibat tidak
berfungsinya cerebrum (bagian otak yang mengatur aktifitas berpikir dan
bergerak) yang terjadi akibat faktor genetik dan keturunan.
Sedangkan disleksia berkembang dialami ketika
anak masih berada dalam kandungan. Pengidap disleksia berkembang dapat membaca
namun tidak lancar dan mengalami kesulitan dalam mengeja kata-kata.
Kabar baiknya, kemampuan membaca mereka akan
membaik ketika tumbuh dewasa. Pengidap disleksia berkembang mungkin tidak akan
pernah menjadi seorang pembaca atau pengeja yang baik, namun otak mereka dapat
melakukannya meski tidak lancar.
Baik pengidap disleksia primer maupun
berkembang dapat menangkap gambar maupun suara, tapi dengan kecepatan merespon
yang lebih lambat daripada anak normal.
Gangguan disleksia
ini bersifat genetik (keturunan), karena ditemukan pada 23% – 65% anak dari
orangtua yang disleksia, juga pada 40% dari saudara kandung. Berdasarkan jenis
kelamin, laki-laki lebih banyak mengalami disleksia daripada perempuan dengan
perbandingan 3:2. Secara internasional, diperkirakan 3% – 10% anak di dunia
mengalami disleksia. Pada negara-negara berbahasa Inggris, persentase perkiraan
ini meningkat hingga 17,5%. Apa sebab? Karena bahasa Inggris adalah bahasa yang
sangat inkonsisten. Hubungan antara kata dan suara dalam bahasa Inggris lebih
sulit diperkirakan dibandingkan dengan bahasa Indonesia, misalnya. Huruf dan
kata yang dituliskan dalam bahasa Inggris berbeda pelafalannya, sehingga
semakin menyulitkan para pengidap disleksia. Gangguan ini pun tidak terbatas
pada bahasa yang bersifat alfabetis, tapi juga terjadi pada individu yang
bahasa sehari-harinya bersifat logografis seperti bahasa Cina. Karakter dalam
bahasa Cina memiliki elemen fonologis yang dapat menimbulkan masalah pada
membaca dan menulis.
Di dunia akademik,
anak-anak yang mengalami disleksia kerap dianggap malas belajar, kurang
konsentrasi, sehingga label “anak bodoh”, “anak malas”, “tidak fokus”, kerap
dilekatkan pada mereka. Ini jelas berpengaruh pada kondisi psikologisnya, yang
ujung-ujungnya dapat memengaruhi tingkat kepercayaan diri anak. Anak menjadi
minder, tak mau sekolah, atau menutup diri dari pergaulan karena sering kali
diejek atau di-bully karena kekurangannya yang justru tidak bisa ia
pahami. Bila guru dan orangtua tidak aware dengan keadaan ini dan tidak
segera membawanya ke psikolog atau ahli-ahli lain yang berkompeten dengan
masalah ini (seperti, dokter anak), dikhawatirkan anak selamanya akan tumbuh
menjadi pribadi yang kurang percaya diri dan bukan tidak mungkin dapat
menimbulkan gangguan psikologis lain seperti, kecemasan sampai depresi. Tentu
hal ini tidak diinginkan setiap orangtua, bukan?
Tanda-tandanya
Seorang anak yang
kemungkinan mengidap disfungsi otak ini akan berulang kali terbalik menuliskan
angka atau huruf. Karena anak normal pun biasa melakukan kesalahan semacam ini,
maka gejala ini mungkin akan dianggap sepele.
Akhirnya, orang tua
baru merasa was was ketika anak tetap melakukan kesalahan yang sama pada saat
usianya telah lebih dari delapan tahun.
Sedangkan gejala
lainnya adalah :
- Tidak mampu mengikuti urutan atau pola
- Tak mampu mengingat apa yang pernah didengar dan dilihat – termasuk hal-hal yang disukainya, seperti film atau cerita.
- Mengerjakan PR dengan tidak rapi
- Enggan mengerjakan tugas sekolah
- Mengalami kesulitan saat menyalin dari buku atau papan tulis
6.
Disleksia adalah satu
dari 3 gangguan belajar yang spesifik (specific learning disorder) yang
termasuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder V
(DSM V). Ada beberapa kriteria menurut DSM V tentang 3 gangguan belajar
spesifik (disleksia, disgrafia, diskalkulia) ini, yang muncul minimal selama 6
bulan.
7.
Ketidakakuratan atau
lambat membaca (membaca satu kata dengan lambat dan salah, sering kali menebak
kata, sulit menyuarakan kata).
8.
Kesulitan dalam
memahami apa yang dibaca (mampu membaca namun tidak memahami kesinambungan
antar kata dan arti).
9.
Kesulitan dalam
mengeja (menambah, mengurangi huruf, mengganti huruf vokal dan konsonan)