Kamis, 29 November 2018

FUNGSI GURU PENDAMPING ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH REGULER



Anak berkebutuhan khusus apakah autisme, ADHD, ADD atau PDD-NOS, bila sudah menjalani tata-laksana, secara holistik termasuk intervensi medis, dan sudah menunjukkan peningkatan dari sisi bahasa/komunikasi dan perilaku, bisa dicoba untuk masuk ke sekolah reguler (bukan SLB). Keberadaan anak di sekolah reguler, bila usia sudah mencukupi akan sangat membantu peningkatan kemampuan bahasa, kepatuhan dan kemampuan akademik, karena anak akan berhadapan dengan instruksi yang berbeda bila dibandingkan yang didapatkan di tempat terapi, lingkungan yang berbeda, orang yang berbeda dll. Selain itu, anak juga akan berada pada suatu tempat yang terdiri dari banyak orang, dimana suara dan gerakan yang berlebihan, bisa membuat konsentrasi anak beralih dan mudah muncul emosi negatif. Penolakan untuk masuk kelas atau sekolah baru, sangat mungkin terjadi, namun kita tidak boleh menyerah dan tetap “mengkondisikan” anak, namun bila hal ini dibiarkan (perilaku menolak), maka tujuan kita untuk meningkatkan kemampuan dan kepatuhan anak, justru akan membuat anak trauma dan tidak mau masuk sekolah.

Keberadaan anak di sekolah umum, tentunya membutuhkan kerja-sama yang baik dengan pihak sekolah sebagai penyelenggara proses pemberian materi akademik. Adanya anak berkebutuhan khusus di sekolah hendaknya jangan menjadikan pihak sekolah merasa terganggu, temannya merasa tidak nyaman atau timbul suasana yang tidak “nyaman” dengan orang tua muruid yang lainnya. Sebagai orang tua ABK kita juga hendaknya tidak menuntut terlalu “jauh” dan “tinggi” ke pihak sekolah agar ‘sangat mengerti” keberadaan ABK. Sebaiknya kita memberikan gambaran ke pihak sekolah, bahwa keberadaan anak kita untuk melatih sosialisai, meningkatkan kepatuhan dan bukan hanya mengejar kemampuan akademik. Kemampuan akademik bisa diadikan sebagai sasaran, bila kepatuhan dan bahasa sudah terbentuk.

Kerja sama dengan guru kelas, sebagai pembimbing sehari-hari, sangat disarankan, meskipun kita tidak bisa menuntut mereka berlaku lebih kepada ABK. Justru kalau mereka memberikan perhatian yang berlebihan, hal ini menyimpang dari misi kita menjadikan anak lebih mandiri. Guru kelas hendaknya berperilaku seperti biasa kepada murid yang lain, seperti meminta anak untuk maju ke depan mengerjakan soal, meminta anak untuk memberikan atau mengambil benda. Tentunya dalam melakukan suatu aktifitas, banyak yang masih harus dibantu, paling tidak agar tidak terlalu lama dan tidak menganggu aktifitas kelas.
Untuk itu diperlukan pembimbing khusus (bukan guru kelas), yang mendampingi anak dalam merespon aktifitas dan mengerjakan materi. Guru pendamping inilah yang mengawasi, membantu dan melatih anak. Guru pembimbing bukan sebagai PENGASUH, yang menyediakan keperluan atau melayani anak, tapi sebagai jembatan antara instruksi guru dan respon dari anak. Fungsi jembatan hanya “menghubungkan”, yang melakukan anak sendiri meskipun dengan dibantu. Fungsi jembatan yang lain adalah antara anak dengan teman sebaya, dimana aspek spontanitas, bermain dan mengikuti aturan, banyak dterapkan di sini. Sedangkan untuk akademik, pada tahap awal masuk tidak menjadi sasaran, yang menjadi sasaran adalah aspek kemampuan siap diri, yang meliputi,  merespon bila namanya dipanggil, duduk dengan durasi waktu yang lama, serta tidak mengeluarkan stimulasi (suara dan gerakan), yang akan menganggu suasana kelas.

Guru Pendamping Khusus (GPK), sebaiknya seoarang terapist yang sudah memiliki bekal dalam menangani anak berkebutuhan khusus di tempat terapi atau di rumah. Sehingga bisa dan harus mampu bersikap tegas bila anak tidak patuh dan menunjukkan sikap menentang, namun juga harus bisa membuat anak merasa nyaman, saat berada di damping GPK. Parameter “keberhasilan” GPK, bukan nilai anak yang tinggi dalam pelajaran, melainkan kepatuhan dan penolakan anak yang semakin turun atau kecil, terhadap semua aktifitas yang ada di sekolah. Sebaiknya anak tidak hanya mengikuti kegiatan intrakurikuler, namun juga kegiatan ekstra yang seperti kesenian atau olah-raga.

Selasa, 20 Maret 2018

PANDANGAN ORANG TUA TERHADAP TATA-LAKSANA PERILAKU


PANDANGAN ORANG TUA TERHADAP TATA-LAKSANA PERILAKU

 

 

Setelah anak mendapatkan diagnosis yang valid, baik dari psikiater anak ataupun pediatric, konsultan tumbuh kembang, selanjutnya adalah menentukan tata laksana atau terapi yang akan diberikan kepada anaknya. Salah satu/jenis tata laksana yang ada sekarang ini disebut dengan tata laksana perilaku, yang menekankan pada variabel atau penyebab terjadinya suatu kejadian. Misalkan anak tiba-tiba tantrum (mengamuk) tanpa sebab dan tiba-tiba, kita sebagai terapist atau orang tua, sebaiknya sudah bisa memperkirakan, apa yang menjadi”penyebab” anak berperilaku demikian. Hal inilah yang disebut dengan antecedents (prakejadian). Kejadian tantrum atau marah disebut sebagai suatu (behaviour-perilaku), yang akan membawa konsekuensi. Bila behaviour anak marah atau emosi negatif, maka konsekuensinya tentu akan berbeda bila anak duduk dengan tenang.

Tata laksana perilaku adalah suatu model atau cara mempertahankan perilku yang baik (misalkan anak duduk tenang), dengan memberikan konsekuensi yang menyenangkan seperti diberikan hadiah, pujian dll. namun bila mncul emosi negatif dari anak, seperti marah atau menangis, maka yang muncul dari kita adalah konsekuensi negatif.

Ketika menjalankan tata-laksana perilaku, pada tahap awal pasti akan muncul pertentangan dari orang tua (ayah dan ibu), yang belum sependapat atau sepaham dalam melaksanakannya. Karena tata-laksana ini berbeda dengan pola pengasuhan atau pembelajaran pada umumnya. Saat berhadapan dengan anak dalam memberikan instruksi, hendaknya harus “hemat kata”, “hemat gerakan”, kata yang diucapkan harus jelas dan tegas (bukan membentak). Bila anak dapat melakasanakan suatu instruksi, maka harus segera diberikan imbalan atau hadiah, bisa berupa makanan, pujian dll.

Beberapa hal yang mungkin menjadi penghambat proses tata-laksana adalah

1.      Ketidaksepahaman antara ayah dan ibu, terhadap kontinuitas program. Karena pada tahap awal pembelajaran, hampir dipastikan muncul, penolakan atau emosi negatif. seperti menangis, marah, menjerit, tidak mau duduk, keluar dari kursi (tidak mau duduk). untuk anak yang masih berusaia kurang lebih 2-3 tahun, “dikhawatirkan”, akan muncul “trauma”. Meskipun biasanya setelah beberapa kali pertemuan, biasanya anak cukup tenang dan mampu mengikuti instruksi dengan cukup baik.

2.      Untuk konsistensi sikap atau perilaku, bila anak sedang marah atau menangis, biasanya ada anggota keluarga yang lain yang berusaha menenangkan anak dengan memberikan apa yang disukainya. Sehingga anak akan berusaha mencari orang yang akan memberikan sesuatu yang disukainya, sebagai “pelarian”.  

3.      Memang belum ada penelitian yang valid, namun orang tua yang masih tinggal dengan mertua atau selain keluarga inti, maka perbaikan anak perilaku, agak lambat. Kesulitan untuk memberikan aturan tunggal, biasanya membuat anak justru menjadi labil emsoinya.

4.      Masalah pembiayaan, menjadi kendala yang muncul bagi anak yang perlu mendapatkan tata-laksana secara holistik (menyeluruh). Karena ideal lamanya terapi bagi terapi perilaku adalah 8 jam sehari.

5.      Bagi anak berkebutuhan khusus yang sudah verbal, biasanya pola bahasa dan bicara anak, tampak kaku dan belum memiliki intonasi. Sehingga untuk menyanyikan sebuah lagu belum terdengar dinamikanya. Dalam berbicara biasanya masih bersifat satu arah, dalam menjawab masih cenderung monoton  dan belum mau bertanya atau berkata secara spontan.

 

Beberapa kendala diatas, memang sangat mungkin muncul, karena anak biasanya kurang mau untuk melaksanakan instruksi yang diberikan secara mandiri. Bila diberikan bantuan biasanya, anak masih sering mengharapkannya. Sehingga bila diminta menyelesaikan, akan timbul emosi negatif. Disinilah mulai diberlakukan terapi perilaku, dimana anak harus menuruti instruksi yang diberikan, namun bila sudah mampu melaksnakan, akan diberikan rewards atau hadiah. Bila menolak akan mendapatkan rewards negatif.

Setelah anak mampu mengerjakan dan patuh dengan satu orang, bisa dilanjutkan dengan membiasakan anak menerima perintah dari orang lain (selain terapist). hal ini bertujuan agar anak tidak hanya patuh dan mau melaksakan instruksi dari orang tertentu saja.