Selasa, 10 Januari 2017

DISLEKSIA PADA ANAK



DYSLEKSIA
Apa itu disleksia?
Disleksia adalah semacam disabilitas yang lazim dialami anak-anak. Anak-anak dengan disleksia umumnya mengalami kesulitan saat mereka belajar membaca, menulis atau mengeja kata-kata.
Meskipun anak-anak penderita disleksia memiliki tingkat intelejensi di atas rata-rata, mereka sulit memahami pelajaran yang disampaikan secara visual maupun melalui suara.
Otak anak pengidap disleksia tidak mampu menerjemahkan gambar atau suara yang dilihat oleh mata atau yang didengar oleh telinga. Mata penderita disleksia bisa melihat kata-kata yang tertulis dalam buku, namun otak tidak mampu menerjemahkan apa yang mereka lihat.
Disleksia bukanlah bagian dari penyakit mental. Oleh karena itu kepikunan, keterbelakangan mental dan kerusakan otak tidak dapat digolongkan sebagai gejala disleksia, Demikian juga gangguan penglihatan dan pendengaran.

Apa penyebabnya?

Ada dua jenis disleksia, yaitu disleksia primer dan disleksia berkembang. Disleksia primer terjadi akibat tidak berfungsinya cerebrum (bagian otak yang mengatur aktifitas berpikir dan bergerak) yang terjadi akibat faktor genetik dan keturunan.
Sedangkan disleksia berkembang dialami ketika anak masih berada dalam kandungan. Pengidap disleksia berkembang dapat membaca namun tidak lancar dan mengalami kesulitan dalam mengeja kata-kata.
Kabar baiknya, kemampuan membaca mereka akan membaik ketika tumbuh dewasa. Pengidap disleksia berkembang mungkin tidak akan pernah menjadi seorang pembaca atau pengeja yang baik, namun otak mereka dapat melakukannya meski tidak lancar.
Baik pengidap disleksia primer maupun berkembang dapat menangkap gambar maupun suara, tapi dengan kecepatan merespon yang lebih lambat daripada anak normal.
Gangguan disleksia ini bersifat genetik (keturunan), karena ditemukan pada 23% – 65% anak dari orangtua yang disleksia, juga pada 40% dari saudara kandung. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak mengalami disleksia daripada perempuan dengan perbandingan 3:2. Secara internasional, diperkirakan 3% – 10% anak di dunia mengalami disleksia. Pada negara-negara berbahasa Inggris, persentase perkiraan ini meningkat hingga 17,5%. Apa sebab? Karena bahasa Inggris adalah bahasa yang sangat inkonsisten. Hubungan antara kata dan suara dalam bahasa Inggris lebih sulit diperkirakan dibandingkan dengan bahasa Indonesia, misalnya. Huruf dan kata yang dituliskan dalam bahasa Inggris berbeda pelafalannya, sehingga semakin menyulitkan para pengidap disleksia. Gangguan ini pun tidak terbatas pada bahasa yang bersifat alfabetis, tapi juga terjadi pada individu yang bahasa sehari-harinya bersifat logografis seperti bahasa Cina. Karakter dalam bahasa Cina memiliki elemen fonologis yang dapat menimbulkan masalah pada membaca dan menulis.
Di dunia akademik, anak-anak yang mengalami disleksia kerap dianggap malas belajar, kurang konsentrasi, sehingga label “anak bodoh”, “anak malas”, “tidak fokus”, kerap dilekatkan pada mereka. Ini jelas berpengaruh pada kondisi psikologisnya, yang ujung-ujungnya dapat memengaruhi tingkat kepercayaan diri anak. Anak menjadi minder, tak mau sekolah, atau menutup diri dari pergaulan karena sering kali diejek atau di-bully karena kekurangannya yang justru tidak bisa ia pahami. Bila guru dan orangtua tidak aware dengan keadaan ini dan tidak segera membawanya ke psikolog atau ahli-ahli lain yang berkompeten dengan masalah ini (seperti, dokter anak), dikhawatirkan anak selamanya akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang percaya diri dan bukan tidak mungkin dapat menimbulkan gangguan psikologis lain seperti, kecemasan sampai depresi. Tentu hal ini tidak diinginkan setiap orangtua, bukan?
Tanda-tandanya
Seorang anak yang kemungkinan mengidap disfungsi otak ini akan berulang kali terbalik menuliskan angka atau huruf. Karena anak normal pun biasa melakukan kesalahan semacam ini, maka gejala ini mungkin akan dianggap sepele.
Akhirnya, orang tua baru merasa was was ketika anak tetap melakukan kesalahan yang sama pada saat usianya telah lebih dari delapan tahun.
Sedangkan gejala lainnya adalah :
  1. Tidak mampu mengikuti urutan atau pola
  2. Tak mampu mengingat apa yang pernah didengar dan dilihat – termasuk hal-hal yang disukainya, seperti film atau cerita.
  3. Mengerjakan PR dengan tidak rapi
  4. Enggan mengerjakan tugas sekolah
  5. Mengalami kesulitan saat menyalin dari buku atau papan tulis
6.    Disleksia adalah satu dari 3 gangguan belajar yang spesifik (specific learning disorder) yang termasuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder V (DSM V). Ada beberapa kriteria menurut DSM V tentang 3 gangguan belajar spesifik (disleksia, disgrafia, diskalkulia) ini, yang muncul minimal selama 6 bulan.
7.    Ketidakakuratan atau lambat membaca (membaca satu kata dengan lambat dan salah, sering kali menebak kata, sulit menyuarakan kata).
8.    Kesulitan dalam memahami apa yang dibaca (mampu membaca namun tidak memahami kesinambungan antar kata dan arti).
9.    Kesulitan dalam mengeja (menambah, mengurangi huruf, mengganti huruf vokal dan konsonan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar